Ayahku Seorang Pendongeng

17 tahun yang lalu, tepatnya bulan Maret 1998, saya dilahirkan sebagai bayi kecil di dunia ini. 17 tahun yang lalu, tak lama saat saya lahir, ayah saya mengucapkan sebuah janji yang masih ia coba penuhi. Dengan lembut ia membisikkan kata-kata ke telinga mungilku, “Nak, selamat datang ke dunia. Aku ayahmu, kan menjadi seorang pendongeng untukmu”. Dan tepat saat itulah, ia menjelma menjadi sosok spesial bagiku.

***

Beliau sedang bersantai pagi itu sambil membaca koran di sebuah kursi malas saat kudekati. Walaupun umurnya sudah setengah abad, toh ia tetaplah kelihatan awet muda. Kedatanganku membuatnya terusik sejenak. Maklum, kebiasaannya membaca koran (ataupun novel) di pagi hari tak boleh diganggu oleh siapapun, bahkan mama saya sebagai istrinya.

Ia tertawa terbahak-bahak, setelah mengetahui niat saya untuk mewawancarainya. Tawanya lebih meledak lagi saat kuucapkan alasan “wawancara non-formal” itu demi mengikuti lomba blog di Kompasiana. Ia memang tahu media warga tersebut, namun jarang sekali membacanya.

“Idemu gila, Rald!” ujarnya terkekeh sambil meminum secangkir teh yang kubawakan.

“Justru ide gila itu unik, yah”

“Mana ada orang yang tertarik tentang hobi mendongeng ayahmu ini?”

“Setidaknya, Erald akan menuliskannya saja tanpa menyertakan di lomba tersebut” ujarku memelas.

Ia menyerah. Sebagai anaknya, andaikan saja memintanya untuk mengambil “rembulan” pun, akan sekuat mungkin ia penuhi. Apalagi permintaan mudah tapi aneh seperti ini.

Dan kita mulai perjalanan kita ke masa silam, waktu semuanya dimulai.

**

Ayahku dilahirkan di sebuah dusun kecil di puncak Pulau Samosir, tepatnya di desa Gumba, Kecamatan Nainggolan, Kabupaten Samosir. Sebagai anak seorang petani, pekerjaan sehari-harinya hanyalah berladang dan menggembala kerbau milik ayahnya (opung[1] saya). Tak ada masa kecil yang penuh dengan gemerlap mainan dan gadget, masa kecilnya dihabiskan di tengah sawah dan hutan nan luas, ditemani kerbau dan kicau riang burung-burung.

Tibalah saat ia telah cukup umurnya untuk pergi bersekolah. Sekolah di desa tersebut hanya sebatas sekolah dasar, dengan atapnya yang reyot dan bangku-bangku kayu yang lapuk dimakan rayap. Terlepas dari semua itu, ia toh tetap bersemangat mengejar ilmu, walaupun saat itu ia tidak tahu apa tujuannya mencari “barang mahal” itu.

Ia masih ingat ketika ia mendapat buku dongeng pertamanya. Sebuah buku dongeng murahan yang ia beli di toko loak sewaktu ia singgah di kota. Bentuknya tak karuan, kertasnya kusut, cover-nya tak kelihatan warnanya, juga ia tak tahu siapa pengarang buku dongeng itu. Awalnya ia hanya iseng-iseng membaca demi menambah koleksi legenda dan cerita rakyat dari percakapa orangtuanya. Siapa sangka, justru buku itu yang mampu mengubah hidupnya.

Semenjak saat itu, ia mengalami sensasi belajar “learning is fun”, seperti yang sering diistilahkan kaum cendekiawan. Ia membawa buku itu kemanapun ia pergi. Saat menggembala kerbau, ia akan duduk di bawah pohon untuk membaca buku itu (persis kayak di dongeng, yah. Awalnya juga saya tak percaya, sampai ayah saya bersumpah bahwa itu asli n riil, bukan rekayasa).Saat ia pergi berladang, ia akan menyempatkan untuk rehat sejenak di tengah terik matahari demi membaca barang satu-dua paragraf, sebelum melanjutkan bekerja. Sebelum tidur, ia akan menyempatkan untuk menuntaskan satu cerita yang telah dibacanya, lalu akan ditaruhnya buku itu di bawah tikar goni saat ia mulai mengantuk. Ternyata, kutu buku juga bisa menjangkiti anak desa macam ayah saya.

Tahun demi tahun berlalu. Ayah saya mulai bertumbuh dewasa. Ia melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang semakin tinggi, dari SD ke SLTP (SMP), dari SLTP lalu ke SMEA[2] (SLTP dan SMEA ada di ibukota kabupaten). Tak lupa, buku dongeng yang lusuh itu (yang telah ia tamatkan berulang kali) dibawanya pula. Pada masa itu, seorang anak dari desa akan sangat sulit untuk membaur dengan kawan-kawan kota yang lebih modern. Namun hal itu tidak berlaku bagi ayahku. Wawasannya yang cukup luas serta sikapnya yang supel merupakan bukti anak desa tak seperti yang dibayangkan orang.

Ayah saya hanya mampu mengecap sampai bangku SMA, tak lebih. Keluarganya yang berlatar belakang petani menuntutnya untuk segera mencari kerja agar tak menyusahkan orang tua. Ia berkelana, melompat dari satu kabupaten ke kabupaten lain, provinsi ke provinsi untuk mencari kerja. Berbagai lika-liku hidup mempertemukannya dengan ibu saya di kota kecil Gresik, tempat mereka membuat bahtera rumah tangga untuk mengarungi lautan kehidupan yang luas ini.

Bersama Ayah dan Adik di Danau Toba
Bersama Ayah dan Adik di Danau Toba

**

Pendongeng, kata ayah saya, merupakan pekerjaan yang unik. Pendongeng adalah seorang yang mampu menyimpan berbagai cerita di memorinya, lantas mengeluarkannya dalam wujud kata-kata disertai berbagai intonasi, mimik dan gerak untuk membuatnya nyata. Pendongeng adalah seorang yang mampu mengais kembali legenda lokal yang mulai tenggelam ditelan zaman, dan membawanya kembali ke daratan fikir dalam otak anak-anak. Pendongeng adalah pengajar moral dan budi pekerti, sesuatu yang amat jarang hadir di masa sekarang.

“Lantas, mengapa ayah tak menjadi seorang dalang saja?” tanyaku penasaran.

Ia tersenyum simpul. Pendongeng, kata ayah saya, bukan hanya sebatas seorang dalang. Guru juga bisa menjadi pendongeng. Dosen juga bisa menjadi pendongeng. Orang tua, tambahnya, juga mampu (dan wajib) menjadi pendongeng bagi anak-anaknya. What?

“Ayah kan sudah sering sekali mendongengkan cerita padamu dan adik. Apa kamu pikir ayah ini seorang dalang, heh?” tanyanya setengah menyindir.

Pendongeng bukan hanya dalang. Source : Google Images
Pendongeng bukan hanya dalang. Source : Google Images

Memang, ayah sering menuturkan berbagai kisah pada kami, sebelum kami beranjak tidur. Ia akan memulai dengan kata “Dahulu kala,” sebelum memulai dongengnya. Cerita rakyat, mitos menyeramkan sampai fabel pernah ia kisahkan kepada kami. Terkadang kami tetap terjaga sampai ia menyelesaikan rangkaian kisahnya. Sering pula kami tertidur lelap sebelum ayah selesai bercerita. Namun, ia tak pernah lelah mendongengkan sesuatu untuk kami. Di tengah berbagai kesibukan pekerjaan, ia akan menyempatkan waktu barang beberapa menit untuk pergi ke kamar kami dan bercerita. Dan herannya, selama bertahun-tahun kisah di kepalanya seakan tak habis-habis (kami mendengar dongeng sebelum tidur dari umur 4 tahun sampai kelas 6 SD saja. Sewaktu beranjak SMP dan SMA, ayah saya memutuskan untuk memisahkan kami berdua)

Berbagai nilai moral yang terkandung dalam dongeng itu juga disesuaikan terhadap kondisi kami. Disaat kami akan menjalani ujian sekolah esok pagi, malamnya ayah akan mengisahkan Pinokio, seorang yang jikalau berbohong akan bertambah panjang hidungnya, sambil menebar ancaman bahwa siapa yang berbohong (baca: menyontek) akan ditimpa kesialan macam Pinokio. Ketika kami dirundung kesedihan, ia akan berceloteh tentang Cinderella, gadis cantik yang memiliki ibu peri sebagai pelipur lara di tengah duka. Pun disaat kami tak mau belajar, ia akan mengisahkan dongeng Si Kancil yang cerdik, yang mampu mengalahkan berbagai lawan dengan akalnya, seraya memotivasi kami untuk menjadi secerdik kancil dengan belajar.

Kisah Pinokio, Manusia Kayu. Source: Google Images
Kisah Pinokio, Manusia Kayu. Source: Google Images

Ia tak pernah membaca jurnal apapun mengenai manfaat dongeng bagi anak-anak. Ia tak pernah membuka artikel yang bersliweran di dunia maya perihal pentingnya cerita rakyat untuk mendidik budi pekerti anak. Namun, ialah yang secara riil menerapkan gagasannya ke keluarga kecil yang dimilikinya. Ia bukan sekedar ayah yang penuh kasih sayang ataupun suami yang bertanggung jawab saja. Ialah sang matahari yang menyinari keluarga kami, penghangat di tengah dinginnya dunia. Bagaikan tembok kokoh, yang melindungi dari serangan budaya negatif yang hadir dimasa ini. Seorang kepala keluarga yang merangkap menjadi dalang bagi kami.

***

Ia kembali meminum tehnya, setelah bersusah payah bercerita padaku tentang masa lalunya. Kulihat pancaran matanya yang membawa kebahagiaan, serta seutas senyum tulus di wajah. Ia melihatku, sambil berkata “Nak, sekarang kau sudah besar. Ayahmu tak bisa menjadi pendongeng lagi untukmu. Kau harus mencari dongeng untukmu sendiri. Carilah dongeng yang tak akan habis ditelan jaman, untukmu dan keluargamu nanti. Kelak, jika engkau mempunyai anak, kau pun harus menjadi pendongeng bagi ia, ya?”. Ia berkata sambil menepuk pundakku, seakan memberikanku energi baru dalam sentuhannya.

Di tengah jaman yang semakin kelam, aku optimis dalam membangun keluarga. Aku akan membangun keluarga yang harmonis serta berkecukupan. Aku akan membangun sebuah bahtera rumah tangga yang kan mengarungi lautan luas kehidupan, dimana bahtera itu akan kokoh tiang-tiang agamanya dan kuat akal budinya.

Anak-anakku nanti akan kuceritakan berbagai dongeng sebelum mereka terlelap menuju dunia mimpi. Mereka akan kubekali ilmu kehidupan dalam setiap kisah yang kututurkan, sebelum mereka menghadapi kejamnya dunia fana di depan. Mereka harus tahu, bahwa ayahnya anak seorang pendongeng. Ya, ayahnya adalah seorang pendongeng!

So, tertarik menjadi seorang pendongeng?

Pendongeng bernama Tedi. Source : Google Images
Pendongeng bernama Tedi. Source : Google Images

[1] Kakek.

[2] SMEA setingkat SMA, SMEA adalah sekolah kejuruan, hampir mirip dengan SMK

Tinggalkan komentar